Senin, 02 Maret 2009

Seandainya Mereka Tahu


Pagi ini aku nongkrong di pertigaan jalan A. P. Pettarani, salah satu jalan protokol di kota Makassar. Sama saja seperti kemarin, aktifitas yang terus berulang tiap hari. Aku lihat anak sekolah berseragam putih merah dengan ceria saling canda bersama teman-temannya berjalan kaki menuju sekolahnya. Baru jam 7 kendaraan yang lalu lalang padatnya bukan main. Macet lagi macet lagi. Suara klakson mengiung-ngiung. Mungkin mereka kesal nanti telat sampai tujuannya. Orang kantoran sudah pasti lebih kesal lagi. Di kepalanya pasti terbayang muka bos super galaknya karena takut kena cipratan.

Di tempat ini tak ada seorangpun yang tidak mengenalku. Karena aku gampang dikenal, bertubuh tinggi dan besar. Rambut lebat dan kulit hitam pekat. Selain anak-anak sekolah itu, aku juga melihat beberapa anak-anak yang pakaiannya sangat kusam, semuanya memeluk sesuatu. Beberapa lembaran kertas terbungkus rapi yang dimana orang-orang biasa menyebutnya surat kabar. Mereka siap beroperasi menjajakan koran tersebut, salah satu dari mereka mengangkat tangannya ke arah kendaraan yang lalu lalang dengan mengacungkan dua jari. Yang artinya harganya dua ribu rupiah. Sungguh pandangan yang kontradikitf. Mungkin itu hanyalah salah satu potret dunia pendidikan di negara ini.

Aku tersenyum simpul sendiri, mengingat di tahun 2009 ini penuh dengan agenda politik. Di awal bulan yang lalu sebuah pemilihan walikota di kotaku tercinta, kemudian agenda pesta demokrasi rakyat yang tinggal sebulan lagi, lalu pilpres, lalu musyawarah nasional berbagai partai.

Pemilu sebentar lagi, semua menyambutnya dengan ekspresinya masing-masing. Para peserta pemilu (Caleg) bekerja all out, berusaha semaksimal mungkin mengambil simpati masyarakat. Dengan memasang berbagai potret fotonya masing-masing. Semua jalanan penuh dengan baliho caleg, bermacam warna bermacam janji. Bahkan di tempat-tempat larangan pemasangan baliho pun tak luput dari mereka. Apakah mereka tak tahu atau memang pura-pura tidak tahu. Seperti di tempatku ini, banyak sekali para peluncur caleg tersebut datang kepadaku untuk memasang baliho calegnya.

Seandainya saja mereka tahu jika aku lagi menangis, seandainya saja mereka dapat merasakan sakitnya dihunus logam-logam besi ini. Efektifkah pemasang baliho itu ? huhh, bukan simpati yang kamu dapat dariku. Namun suatu antipati, suatu kebencian. Tapi sungguh dengan cara apa engkau bisa menyadari suara jeritanku ini. Aku hanyalah sebuah tumbuhan, sebuah pohon yang menjulang tinggi dan setiap saat membantu seluruh kaummu membersihkan udara yang kalian hirup itu.

Aku harap kalian menyadari itu, mungkin bukan cuma lewat baliho saja. Ayo yang kreatif dong, pakai cara lain tapi yang positif, yang sesuai koridor aturan yang berlaku.

Pagi yang membosankan, puuffff....!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar