Gulungan ombak membuncah menampar karang yang berduri tajam. Aku berdiri di atas karang yang menjulang itu, yang menjorok ke luar seperti ingin menelan ombak itu. Aku membentangkan kedua tanganku dan menengadah ke langit yang lebam kemerahan sambil menarik nafas sedalam-dalamnya kemudian kukeluarkan. Aku mengulanginya banyak kali. Perasaan yang begitu lega, kukeluarkan saat ini juga. Di pantai yang pasirnya terus saja berbisik ini kulepaskan semua beban yang akhir-akhir ini mengguncangku.
Tiap masalah yang sudah terselesaikan aku pasti ke pantai ini, menghambur tepi pantai di atas karang sambil meneriakkan sesuatu yang maksudnya adalah kelegaan. Namun di setiap aku berada di sini aku juga pasti melihat perempuan itu berdiri tak jauh dariku mungkin sekitar 50 meter dariku sejajar dengan tempatku selalu berdiri di atas karang ini. Perempuan itu berdiri di atas sebuah kayu besar, bekas serpihan perahu yang belum jadi. Kadang juga jongkok sesekali mungkin kecapean berdiri berjam-jam. Tiap aku meliriknya, dia tetap saja memandang bentangan cakrawala itu yang memangku kita ini. Perempuan itu kayaknya seumuran denganku sekitar 30an. Posturnya agak tinggi namun tak ada lekukan. Seperti tiang listrik. Entahlah mungkin kebetulan, atau memang perempuan itu tiap hari di tepi pantai ini. Tiap aku berada di pantai ini tetap saja aku juga melihat perempuan itu dengan rutinitasnya menatap hamparan laut.
Rasa keinginantahuku membuatnya menjadi misteri di mataku. Kadang aku berpikir apakah aku mau menyapanya lalu menanyakan bahwa apa yang anda lakukan di sini tiap hari. Hingga pada suatu saat aku memberanikan diri untuk mendatanginya. Aku mendekat dan tepat selangkah berada di belakangnya. "Senja telah patah dan berguguran meninggalkan bekas lebam di langit, masihkah anda di sini? menanti apakah gerangan?", dengan lancang aku menegurnya. Kemudian dibalas dengan keheningan mungkin celotehku langsung terikut oleh angin yang berhamburan. Mungkin tak didengarnya atau mungkin juga memang malas menjawabnya. Perempuan itu tetap saja diam dan kemudian menghanyutkanku juga. "Maafkan aku jika telah menggangu anda, saya akan pergi".
Perempuan itu tetap saja diam, menolehpun tidak sama sekali. Aku semakin penasaran, Dia hampir sama tinggi denganku, tapi tubuhnya tak berisi dan sangat ramping. Wajahnya lumayan manis, tapi tetap memancarkan pancaran tak beraura. Kosong...
Ada apa dengan perempuan itu, betapa hebat mungkin masalah yang dia hadapi. Aku yang juga sering punya banyak masalah tak seserius amat dengan berlamaan berdiri mencongkak di tepi pantai itu.
Baru sekitar tiga langkah beranjak darinya, aku melihat adik kecil berlari menuju ke arah kami. Membawa botol air mineral. Tampaknya sangat akrab, wajahnya mirip sama perempuan itu. Pasti adiknya. Adik kecil itu langsung mengagetkan perempuan itu, dengan berkata, "kak, udah mau magrib, ayo pulang. Besok lagi ke sini". Sambil menarik tangan kanan perempuan itu kemudian menaruh di pundaknya. lalu berjalan dengan pelan. Seperti orang tua jompo saja yang sudah ngga bisa lagi berjalan sendiri. Tampaknya seperti ada yang lain dari perempuan itu. Apakah dugaanku salah yah, apa dia buta?. Tidak salah lagi tampaknya memang perempuan itu buta. Aku cukup lama berdiri mematung memerhatikan mereka berjalan sampai ujung rambut mereka tak kelihatan lagi.
Aku semakin penasaran, ingin sekali mengenalnya. Aku suka pantai, dia juga suka pantai. Aku tiap seminggu ke sini, namun mungkin dia tiap hari di sini. Perempuan buta itu terus mengusik khayalku. Besok aku harus ke pantai ini lagi. Mungkin adik kecilnya bisa memberitahuku apa yang sebenarnya dialami perempuan itu dengan terus berdiri di tepi pantai itu seakan sedang menanti seseorang.
Keesokan harinya ketika senja belum tampak, aku sudah berada di tempat favoritku ini. Sengaja aku datang lebih cepat. Perempuan itu sudah membuatku penasaran. Tak lama kemudian aku sudah melihat mereka. Mereka tampak berbincang sesuatu dan selintas adik kecil itu meninggalkan perempuan itu. Langsung saja aku berlari mengejar adik kecil itu dan mencegatnya. "Dik, perempuan itu tiap hari di situ bikin apa yah? maafin kakak sebelumnya. Aku orang baik-baik kok. Jangan takut". "Ouh, kakak saya semenjak ditinggal tunangannya akibat kapalnya tenggelam di tengah laut, berubah jadi pendiam dan sekarang menjadi buta karena pernah membenturkan kepalanya ke tembok akibat penyesalan telah kehilangan lelaki yang disayangnya".
Aku bisa merasakannya, yah aku bisa. Sangat dahsyat, sungguh hancur hatinya. Tuhan, berikan dia jalan terang. Betapa jahatnya Engkau, tak kasihan kah melihat hamba-Mu yang satu ini. Sadarkanlah dia. Tepuklah pundaknya. Bangunkan dia.
Haruskah lewat aku Tuhan.
Hari demi hari, senja berganti senja, aku terus menemaninya berdiri di tepi pantai. namun dia tetap saja tak bergeming walau seribu kata telah terucap untuk mengajaknya ngobrol. "Aku mencintaimu...!, Tuhan telah mengirimku ke sini untukmu, menemanimu, menjagamu, menyayangimu. Kita sudah ditakdirkan.
*)Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
*)Sajak oleh Sapardi Djoko Damono
Tiap masalah yang sudah terselesaikan aku pasti ke pantai ini, menghambur tepi pantai di atas karang sambil meneriakkan sesuatu yang maksudnya adalah kelegaan. Namun di setiap aku berada di sini aku juga pasti melihat perempuan itu berdiri tak jauh dariku mungkin sekitar 50 meter dariku sejajar dengan tempatku selalu berdiri di atas karang ini. Perempuan itu berdiri di atas sebuah kayu besar, bekas serpihan perahu yang belum jadi. Kadang juga jongkok sesekali mungkin kecapean berdiri berjam-jam. Tiap aku meliriknya, dia tetap saja memandang bentangan cakrawala itu yang memangku kita ini. Perempuan itu kayaknya seumuran denganku sekitar 30an. Posturnya agak tinggi namun tak ada lekukan. Seperti tiang listrik. Entahlah mungkin kebetulan, atau memang perempuan itu tiap hari di tepi pantai ini. Tiap aku berada di pantai ini tetap saja aku juga melihat perempuan itu dengan rutinitasnya menatap hamparan laut.
Rasa keinginantahuku membuatnya menjadi misteri di mataku. Kadang aku berpikir apakah aku mau menyapanya lalu menanyakan bahwa apa yang anda lakukan di sini tiap hari. Hingga pada suatu saat aku memberanikan diri untuk mendatanginya. Aku mendekat dan tepat selangkah berada di belakangnya. "Senja telah patah dan berguguran meninggalkan bekas lebam di langit, masihkah anda di sini? menanti apakah gerangan?", dengan lancang aku menegurnya. Kemudian dibalas dengan keheningan mungkin celotehku langsung terikut oleh angin yang berhamburan. Mungkin tak didengarnya atau mungkin juga memang malas menjawabnya. Perempuan itu tetap saja diam dan kemudian menghanyutkanku juga. "Maafkan aku jika telah menggangu anda, saya akan pergi".
Perempuan itu tetap saja diam, menolehpun tidak sama sekali. Aku semakin penasaran, Dia hampir sama tinggi denganku, tapi tubuhnya tak berisi dan sangat ramping. Wajahnya lumayan manis, tapi tetap memancarkan pancaran tak beraura. Kosong...
Ada apa dengan perempuan itu, betapa hebat mungkin masalah yang dia hadapi. Aku yang juga sering punya banyak masalah tak seserius amat dengan berlamaan berdiri mencongkak di tepi pantai itu.
Baru sekitar tiga langkah beranjak darinya, aku melihat adik kecil berlari menuju ke arah kami. Membawa botol air mineral. Tampaknya sangat akrab, wajahnya mirip sama perempuan itu. Pasti adiknya. Adik kecil itu langsung mengagetkan perempuan itu, dengan berkata, "kak, udah mau magrib, ayo pulang. Besok lagi ke sini". Sambil menarik tangan kanan perempuan itu kemudian menaruh di pundaknya. lalu berjalan dengan pelan. Seperti orang tua jompo saja yang sudah ngga bisa lagi berjalan sendiri. Tampaknya seperti ada yang lain dari perempuan itu. Apakah dugaanku salah yah, apa dia buta?. Tidak salah lagi tampaknya memang perempuan itu buta. Aku cukup lama berdiri mematung memerhatikan mereka berjalan sampai ujung rambut mereka tak kelihatan lagi.
Aku semakin penasaran, ingin sekali mengenalnya. Aku suka pantai, dia juga suka pantai. Aku tiap seminggu ke sini, namun mungkin dia tiap hari di sini. Perempuan buta itu terus mengusik khayalku. Besok aku harus ke pantai ini lagi. Mungkin adik kecilnya bisa memberitahuku apa yang sebenarnya dialami perempuan itu dengan terus berdiri di tepi pantai itu seakan sedang menanti seseorang.
Keesokan harinya ketika senja belum tampak, aku sudah berada di tempat favoritku ini. Sengaja aku datang lebih cepat. Perempuan itu sudah membuatku penasaran. Tak lama kemudian aku sudah melihat mereka. Mereka tampak berbincang sesuatu dan selintas adik kecil itu meninggalkan perempuan itu. Langsung saja aku berlari mengejar adik kecil itu dan mencegatnya. "Dik, perempuan itu tiap hari di situ bikin apa yah? maafin kakak sebelumnya. Aku orang baik-baik kok. Jangan takut". "Ouh, kakak saya semenjak ditinggal tunangannya akibat kapalnya tenggelam di tengah laut, berubah jadi pendiam dan sekarang menjadi buta karena pernah membenturkan kepalanya ke tembok akibat penyesalan telah kehilangan lelaki yang disayangnya".
Aku bisa merasakannya, yah aku bisa. Sangat dahsyat, sungguh hancur hatinya. Tuhan, berikan dia jalan terang. Betapa jahatnya Engkau, tak kasihan kah melihat hamba-Mu yang satu ini. Sadarkanlah dia. Tepuklah pundaknya. Bangunkan dia.
Haruskah lewat aku Tuhan.
Hari demi hari, senja berganti senja, aku terus menemaninya berdiri di tepi pantai. namun dia tetap saja tak bergeming walau seribu kata telah terucap untuk mengajaknya ngobrol. "Aku mencintaimu...!, Tuhan telah mengirimku ke sini untukmu, menemanimu, menjagamu, menyayangimu. Kita sudah ditakdirkan.
*)Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
*)Sajak oleh Sapardi Djoko Damono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar