Minggu, 22 Maret 2009

Baliho Itu Saling Berdebat

baliho caleg
Pagi yang dingin. Aku kembali embuskan nafasku. Hawa tubuhku menyelimuti semua yang aku lewati. Anak-anak manusia masih banyak yang terlelap dengan mimpi indahnya. Terlalu nyenyak untuk bisa merasakan nafasku. Sebagian lagi sudah memulai aktifitasnya. Mencari rezeki di tengah kerasnya kehidupan pantang menyerah. Aku sangat menghormati manusia seperti itu. Seandainya bisa, aku tidak akan membekukan mereka dengan embus nafasku. Pasti.

Aku melanjutkan perjalananku. Di sudut jalan itu. Aku melihat beberapa bocah sedang menjajakan koran. Aku juga menghargai usaha mereka. Bocah-bocah bertelanjang kaki. mereka tahu bahwa halal lebih baik daripada haram. Punya harga diri untuk tidak meminta , Salut. Aku berbelok ke kanan, kulihat beberapa manusia sedang menunggu angkutan umum. Sementara supir-supir angkutan umum berebut untuk mendapatkan penumpang. Kasar, kadang-kadang mereka tidak mengindahkan kenyamanan calon penumpang. Terus saja maju, mundur lagi, maju lagi, mundur lagi. Aku pusing melihat angkot-angkot itu. Bisa kubayangkan, bagaimana tersiksanya manusia-manusia yang ada di atas angkot itu.

Aku mengalihkan pandanganku. Samar-samar aku mendengarkan baliho-baliho di sisi kiri ruas jalan itu berdialog. Mungkin lebih tepatnya sedang berdebat. Aku penasara, lalu kudekati mereka melalui embusanku. ternyata aku tidak salah. Mereka memangsedang mengumandangkan lagu partai. basi, Cuma berisi janji-janji yang entah kapan bisa ditepati.Tapi aku tetap saja tertarik. Ingin lebih mengetahui apa yang sedang mereka perdebatkan. "Hai..! Apa yang sedang kalian perbincangkan?" Aku berembus sambil tersenyum dan mulai menyapa mereka. "Apa urusan kamu?" Salah satu baliho itu sinis memandangku. "Aku memang tidak punya urusan denganmu. tapi aku ingin tahu apayang sedang kalian debatkan". Aku menatapnya. "Bukankah setiap perdebatan itu butuh seorang moderator?". baliho-baliho yang lain mengangguk. Rupanya mereka jauh lebih pintar daripada baliho wanita yang tadi sinis kepadaku. atau mungkin dia takut debatnya aku patahkan. "Dia benar. Dia bisa jadi moderator kita. bagaimana teman-teman?" Baliho yang tampak bijaksana itu berpaling ke baliho lainnya. "Setuju! Setuju!" Mereka serentak mengamininya.

"Nah, sekarang aku mempersilahkan Anda!" Aku menunjuk baliho yang tadi membeku. "Aku cuma ingin mengatakan bahwa aku caleg yang tidak mau main kotor. Tidak mau sikut sana sikut sini. Kita bersaing secara sehat sajalah". Dia mulai membuka debatnya. "Sebenarnya, bukan masalah siapa yang menang atau salah, tapi bagaimana kita berbuat, untuk memberi yang terbaik". Aku tertegun mendengarnya. "Masih adakah manusia yang tulus berpikir seperti itu?" batinku.

"Akh, omongan seperti itu sudah basi. Rakyat sudah "kebal" dengan kalimat seperti itu". Baliho bergambar wanita itu sinis. "Kalau menurut kamu?" Aku berbalik ke arahnya. "Aku tidak mau terlalu muluk mengumbar janji. Aku hanya ingi melihat rakyat sejahtera, tidak seperti saat ini. Begitu banyak pengangguran. Begitu banyak kebodohan". Aku tertawa dalam hati. Mungkin beberapa di antara mereka tidak tahu. Atau mungkin pura-pura tidak tahu. Bahwa apa yang dilakukan mereka itu, kadang-kadang juga jadi semacam pembodohan dalam masyarakat. Slogan-slogan yang menempeli mereka, apa itu bukan suatu proses pembodohan. Tapi aku diam saja. Percuma berdebat dengan mereka. Lebih baik aku jadi saksi perdebatan mereka saja. Suatu perdebatan yang konyol menurutku.

"Apa yang kamu sampaikan itu juga sudah basi". Baliho lainnya menimpali. "Itu sudah sering diagung-agungkan". "Jadi?" Si baliho wanita tadi menoleh ke belakang. Dia melihat baliho wanita yang lebih muda darinya. "Maksud saya, harus ada pembaruan ide. Itulah gunanya caleg-caleg muda ikut meramaikan blantika pemilihan wakil rakyat". Baliho itu masih muda, tapi dia begitu tenangnya menghadapi debat ini. Memang umur bukan jaminan kecerdasan seseorang ataupun pengalaman hidup. "Kalau begitu apa keinginan kamu dalam kompetisi ini?" Baliho lelaki bertampang bijak itu menatapnya. "Aku ingin mengubah sistem kita. Terlalu banyak sistem yang perlu ditambal". "Maksud kamu?" Serentak baliho-baliho yang lain. "Ya, sistem pemerintahan kita, termasuk oknum-oknum yang bermain di dalamnya. Yang harus diperbaiki lebih dahulu adalah sistem itu sendiri. Sistem yang memberi banyak peluang buat melakukan manipulasi di sana-sini. Yang memberi jalan buat orang-orang bermain di dalamnya". Beberapa baliho yang ada di sudut jalan itu menganguk-anggukkan kepalanya. Entah itu anggukan mengerti. Atau anggukan bahwa yang dikatakan baliho wanita muda itu benar adanya.

"akh kamu terlalu naif untuk berbcara tentang sistem. "Ya beginilah keadaanya negara kita. Sudah bobrok dari dulu. Sekarang, dan mungkin akan semakin bobrok". Baliho wanita sinis itu ngotot. "Tapi setidaknya ada yang berusaha memperbaikinya". Baliho pria yang ada di sisi baliho wanita muda mencoba mengeluarkan pendapatnya. "Memperbaiki? itu sama saja bunuh diri". Kamu seperti tidak tahu situasi di negara kita ini." Baliho lelaki setengah baya yang tadi cuma diam akhirnya ikut membela baliho wanitu sinis itu. "Beginilah Indonesia, kalau mau selamat ya cari aman saja". "Tidak seperti itu. Walaupun kita tahu bahwa Indonesia sudah seperti ini, setidaknya kita berusaha memperbaikinya. Itulah mengapa kita berkumpul di tempat ini. Bersama, bersaing secara sehat. Dengan visi dan misi partai kita". Baliho yang tampknya bijak, yang tadi terdiam akhirnya buka suara lagi. "Iya memang, tapi kita jangan lupa bahwa di antara kita ini, ada yang hadir hanya karena memiliki kelebihan materi atau pendukung. Bukan karena mampu". Baliho wanita sinis itu melirik beberapa baliho yang ada di sisi kiri dan kanannya.

"Kamu jangan sembarangan kalau berbicara. Jangan sampai menyinggung seperti itu. Bagaimanapun, masyarakat sekarang sudah banyak yang cerdas. Mereka bisa menilai. tahu mana yang benar-benar punya skill. Mana yang sekedar numpang wajah atau nama". Sebuah baliho yang hampir rubuh ikut memberi komentarnya. "Apa kamu merasa tersinggung dengan perkataanku". Baliho wanita sinis itu semakin mempertajam debatnya. "Bukan begitu, kita pasti sudah bisa menebak kemampuan kita masing-masing dan alasan mengapa kita ada di sini". Baliho yang hampir rubuh itu menjawab dialog dengan tenangnya. Meski hampir rubuh tapi aku bisa melihat semangat di wajahnya. "Sudahlah, kita tidak usah mencari sisi buruk kita. Apalagi dengan alasan untuk bisa saling menjatuhkan". Baliho lelaki bijak itu menengahi suasana yang mulai panas. "Kita masih d sini, masih berada di jalan untuk meraih simpatik. Kita belum ada di gedung dewan. Jadi kenapa kita harus saling menjatuhkan. Sekarang lebih baik kita tersenyum, biar siapapun yang melihat kita akan simpatik dan akhirnya memilih kita". Baliho wanita sinis itu mengiyakan pendapat baliho lelaki bijak itu. "Bagaimana teman-teman?, "Setuju, setuju, setuju!!!" baliho-baliho itu serentak berteriak.

Aku cuma diam menyaksikan mereka. Lalu aku berpikir, apa gunanya aku sebagai moderator. Pertamanya saja aku dianggap. Setelah itu?Aku seolah tidak ada di hadapan mereka. Apa karena aku hanya angin?. tapi apa penghormatan itu harus melihat siapan dan mengapa? Atau status yang melekat di baju kita. Haruskah aku harus menjadi angin yang besar, agar mereka sadar bahwa aku ada. Dan aku punya pendapat.

Aku marah. Tersinggung dengan perbedaan status, Atau apalah istilah yang mereka gunakan untuk itu. Aku berubah jadi angin besar tanpa aku sadari. Aku berembus kencang. Menumbangkan semua yang ada di sekitarku. Termasuk baliho-baliho itu. Mereka berjatuhan ke tanah. Setidaknya aku telah memberi pelajaran pada mereka untuk selalu waspada. bahwa mereka bisa tumbang. Di mana saja, kapanpun itu. Karena dalam politik, kita tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan yang sejati. Mudah-mudahan mereka menyadari itu. Bahwa itulah dunia politik yang akan mereka masuki. Dunia yang di dalamnya begitu banyak warna. Begitu menyilaukan mata dan bisa membutakan nurani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar