Malam ini entah malam keberapa aku duduk di taman ini. Aku sengaja menyepi dan menepi. membiarkan tubuh kasarku larut dalam embun pagi, larut dalam bau wangi taman, larut dalam hembusan angin. Tapi sungguh mati, aku tak tahu apakah batinku juga ikut larut dalam alam sekelilingku. Ah persetan!
Kutatap langit di atas kepalaku. Di sana sepotong rembulan tersenyum ringan. ia lalu mendekap dan berbisik lirih, hai lelaki kesepian, apa yang kau cari di tanam itu?"
"Tuhan!",
"Kau cari Tuhan?"
"Ya benar, aku cari Tuhan"
"hmm...mencari Tuhan?" ia tersenyum. Senyumnya membias kecut.
"Kau cemburu?" tanyaku.
"Aku cemburu?" ia tersenyum lalu tertawa ngakak..ha ha ha..
"kalau tidak cemburu kenapa mengusikku"
"hei lelaki kesepian, apakah hari ini Tuhan tak bersamamu?"
"Entahlah..."
"Lihatlah bunga-bunga itu, lihatlah daun-daun yang ada di sekelilingmu. Tuhan ada di situ!"
Aku menoleh memeriksa segala yang ada di depan mataku. Ada ratusan atau mungkin seribuan bunga di taman ini. Kupetik salah satu diantaranya. Kucium bau wanginya, kuraba lekuk-lekuknya. "Benarkah ada Tuhan di sini?" Aku membatin.
"Hai lelaki kesepian, kau telah temukan Tuhan di pucuk bunga itu?"
"Tidak"
"Kau tak akan menemukan Tuhan di puncak bunga itu, jika kau tak menyatu dengannya."
"Menyatu?" Apa itu?"
"Ah dasar lelaki goblok. Kau bodoh!", ejeknya lalu tertawa.
"Kalau Tuhan ada di sini tolong tunjukkan di mana Dia?" tanpa sadar, aku ternyata telah mengiba. Tapi ia justru meninggalkanku. Menyatu dengan mendung. Aku kehulangan. Sepotong rembulan itu hanya mengirimkan sepotong sajak.
Sampai di rumah kugali sepotong sajak itu. Ternyata aku telah berbulan-bulan melupakan bunga di tubuhku. Isteri dan anak-anak telah lama kutinggalkan karena sibuk menyepi dan menepi. Pantas hari ini Tuhan tak kutemukan. Pantas Tuhan tak bersamaku karena Dia telah lama tergolek lesu di pucuk-pucuk bungaku.
Kutatap langit di atas kepalaku. Di sana sepotong rembulan tersenyum ringan. ia lalu mendekap dan berbisik lirih, hai lelaki kesepian, apa yang kau cari di tanam itu?"
"Tuhan!",
"Kau cari Tuhan?"
"Ya benar, aku cari Tuhan"
"hmm...mencari Tuhan?" ia tersenyum. Senyumnya membias kecut.
"Kau cemburu?" tanyaku.
"Aku cemburu?" ia tersenyum lalu tertawa ngakak..ha ha ha..
"kalau tidak cemburu kenapa mengusikku"
"hei lelaki kesepian, apakah hari ini Tuhan tak bersamamu?"
"Entahlah..."
"Lihatlah bunga-bunga itu, lihatlah daun-daun yang ada di sekelilingmu. Tuhan ada di situ!"
Aku menoleh memeriksa segala yang ada di depan mataku. Ada ratusan atau mungkin seribuan bunga di taman ini. Kupetik salah satu diantaranya. Kucium bau wanginya, kuraba lekuk-lekuknya. "Benarkah ada Tuhan di sini?" Aku membatin.
"Hai lelaki kesepian, kau telah temukan Tuhan di pucuk bunga itu?"
"Tidak"
"Kau tak akan menemukan Tuhan di puncak bunga itu, jika kau tak menyatu dengannya."
"Menyatu?" Apa itu?"
"Ah dasar lelaki goblok. Kau bodoh!", ejeknya lalu tertawa.
"Kalau Tuhan ada di sini tolong tunjukkan di mana Dia?" tanpa sadar, aku ternyata telah mengiba. Tapi ia justru meninggalkanku. Menyatu dengan mendung. Aku kehulangan. Sepotong rembulan itu hanya mengirimkan sepotong sajak.
Jika kau ingin bertemu dengan Tuhan,
Taburkanlah bunga di hatimu.
Jika kau rindu dengan Tuhan,
Tanamlah bunga di setiap lekuk-lekuk tubuhmu.
Hari ini Tuhan tak bersamamu
Karena kau lupa dengan bunga-Nya.
Sampai di rumah kugali sepotong sajak itu. Ternyata aku telah berbulan-bulan melupakan bunga di tubuhku. Isteri dan anak-anak telah lama kutinggalkan karena sibuk menyepi dan menepi. Pantas hari ini Tuhan tak kutemukan. Pantas Tuhan tak bersamaku karena Dia telah lama tergolek lesu di pucuk-pucuk bungaku.
"Maafkanlah aku Tuhan."
"Maafkan aku wahai bungaku"